WELCOME...*** Eva Harista BLOG

Bismillahirrohmanirrohiiiim….

Alhamdulillah, alladzi ‘allamana bil qalam, ‘allamal insana maa’lam ya’lam...
Puji syukur hamba semoga selalu tercurahkan pada Allah SWT, yang telah mengajari manusia dengan pena. Dia lah yang mengajari manusia apa yang tidak mereka ketahui...

Jumat, 23 Desember 2011

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA DALAM BIDANG SEMANTIK


Berbagai Kesalahan Berbahasa dalam Bidang Semantik
1        Gejala Hiperkorek
Gejala hiperkorek banyak kita jumpai dalam penggunaan bahasa Indonesia. Gejala ini merupakan proses bentuk betuk dibalik betul, maksudnya sudah betul dibetulkan lagi akhirnya menjadi salah. Gejala hiperkorek selalu menunjukkan sesuatu yang salah (Yenny Puspita, 2006: 84)
1)      /s/dijadikan /sy/ atau seharusnya
Kedua fonem tersebut memang ada dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang mengandung fonem /sy/ umumnya dari bahasa Arab. Kata-kata yang mengandung fonem /sy/ dalam bahasa Indonesia antara lain:
-          Syahabat                           - syahdu
-          Syair                                  - syarat

Dampak sertifikasi terhadap kinerja guru

Gagasan awal sertifikasi adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Sesui amanat UU Nomor 14 tahun 2004 tentang Guru dan Dosen yang menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Maka program ini hendaknya janganlah dipandang sebagai proses legalisasi semata, akan tetapi harus dipandang sebagai ijtihad untuk meningkatkan kompetensi profesi guru. Karena itu proses ini harus betul-betul dilakukan secara teliti dan cermat agar tidak menurunkan mutu guru.
 Guru yang telah disertifikasi tentu saja mengandung implikasi dan konsekuensi tertentu khususnya bagi guru yang bersangkutan. Legitimasi yang disandang sebagai guru yang tersertifikasi (guru profesional) hendaknya benar-benar dapat diwujudkan dalam perilaku tugas kesehariannya, baik yang terkait dengan pemenuhan kompetensi personal, sosial, pedagogik maupun akademik.
Janawi (2007:52) menjelaskan dalam UU nomor 14 tahun 2005, kompetensi dibagi menjadi kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Dari sisi personal, mereka yang sudah tersertifikasi seyogyanya dapat menunjukkan keteladanan pribadi (have good personality), menjadi panutan bagi guru-guru yang lainnya. Sementara dari segi sosial, mereka diharapkan dapat menunjukkan sosiabilitas yang tinggi dan memiliki nilai manfaat lebih bagi lingkungan sosialnya, khususnya bagi para rekan sejawat. Dari sisi pedagogik, para guru yang sudah tersertifikasi seyogyanya dapat menunjukkan kemampuan pedagogiknya terutama pada saat menjalankan proses pembelajaran siswa. Dari mereka diharapkan dapat muncul berbagai inovasi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dan diterapkan paling tidak di lingkungan sekolahnya. Dari sisi akademik, pendalaman tentang substansi materi dari mata pelajaran yang diampunya. Dari mereka diharapkan muncul karya-karya tulis yang bermutu untuk di-sharing-kan dengan rekan sejawat lainnya. Singkatnya, mereka yang sudah tersertifikasi diharapkan dapat menunjukkan kinerja dan produktivitasnya yang tinggi.
Survei yang dilaksanakan Persatuan Guru Repulik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru menyatakan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi (http://www.jawapos.co.id).
Hasil penelitian Mulyono (2008) mahasiswa Universitas Bengkulu yang berjudul “Dampak Sertifikasi terhadap Kinerja Guru di SMP Negeri I Kota Lubuklinggau”, dapat disimpulkan bahwa dampak sertifikasi guru terhadap kinerja guru SMP Negeri I Lubuklinggau belum mengalami perubahan yang berarti. Guru sebagai pendidik professional, belum mampu mengaplikasikan ke empat komponen kompetensi kependidikan berdasarkan standar nasional pendidikan.
1)    Dipandang dari kompetensi pedagogik, guru yang telah disertifikasi belum menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik dalam membimbing peserta didik, proses belajar, model pembelajaran serta strateginya, sehingga peserta didik sebagian masih mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran yang diberikan guru. Dalam menyampaikan pelajaran di kelas guru belum menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang digunakan sebagai media pembelajaran yang efektif.
2)    Dipandang dari kompetensi professional, guru yang telah disertifikasi belum mengembangkan profesionalnya dalam upaya meningkatkan efektifitas belajar anak, dalam menyusun rencana pembelajaran dalam setiap proses pembelajaran, dalam substansi materi yang diajarkan atau pelajaran yang menjadi bidang keahlian, dalam mengikuti berbagai kegiatan untuk meningkatkan professional dengan berbagai kegiatan, diklat, MGMP, lokakarya, dan sebagainya.
3)    Dipandang dari kompetensi sosial, guru masih belum menunjukkan rasa sosial terhadap teman sejawat, belum menarik masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan putera-puterinya, belum memahami sebagai makhluk sosial untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidik, watak peserta didik serta masyarakat sekitar sekolah.
4)    Dipandang dari kompetensi kepribadian, guru yang telah disertifikasi belum memiliki komitmen dan kemauan yang tinggi dalam melakukan tugasnya sebagai guru professional, berakhlak mulia, memiliki rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada peserta didik tanpa membedakan suku, ras, golongan dan melaksanakan fungsinya sebagai guru (http//www.mulyono.blogspot.com//).
Jika kita lihat dari beberapa penelitian tentang sertifikasi, memang banyak hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa serifikasi belum menjadikan para guru menjadi professional secara prakteknya. Akan tetapi, penulis yakin bahwa masih ada diantara sekian guru yang memang layak dikatakan professional baik itu dalam teori maupun praktek. Setidaknya tidak pernah ada kata terlambat menuju suatu perubahan yang lebih baik bagi kepentingan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

Berdasarkan pengamatan sementara penulis, ada beberapa dampak positif semenjak adanya sertifikasi dalam kaitannya terhadap kinerja guru, antara lain sebagai berikut.
1)    Para guru mulai besemangat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (s2) untuk menambah bekal pengetahuan mereka. Dengan adanya tunjangan sertifikasi, banyak guru yang memanfaatkannya untuk kepentingan pendidikan.
2)    Para guru berlomba-lomba mengikuti berbagai pelatihan/ seminar/ penataran baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pengetahuan mereka tentang pendidikan.
3)    Dengan adanya sertifikasi tentunya mempunyai arti tersendiri bagi para guru. Setidaknya, mereka memikul beban dan tanggung jawab yang lebih. Mereka tentunya tidak mau dikatakan sebagai guru yang tidak professional pasca sertifikasi. Hal ini tentunya akan memacu bagi guru tersebut untuk lebih bersemangat lagi dalam pengabdian mereka dalam pendidikan terutama dalam mencapai empat kompetensi professional guru.
Berdasarkan pengamatan sementara penulis terhadap kinerja para guru yang telah disertifikasi, ada beberapa masalah/ problema yang berkaitan dengan keprofesionalitas guru yang masih banyak belum diterapkan oleh para guru yang telah disertifikasi, antara lain sebagai berikut.
1)    Kurangnya minat guru untuk meneliti. Banyak guru yang malas untuk meneliti di kelasnya sendiri dan terjebak dalam rutinitas kerja sehingga potensi ilmiahnya tak muncul kepermukaan. Karya tulis mereka dalam bidang penelitian tidak terlihat. Padahal setiap tahun, Departemen Pendidikan Nasional (depdiknas) selalu rutin melaksanakan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran (LKGDP) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh direktorat Profesi Guru. Mereka baru mau meneliti ketika akan mengurus kenaikan pangkat, yang biasanya membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
2)    Rendahnya minat guru dalam menulis opini/ pemikirannya tentang masalah pendidikan di Koran lokal/daerah atau majalah tertentu. Hanya beberapa guru saja yang berani menuangkan pemikirannya dalam tulisan-tulisan yang berupa opini dalam membahas problematika pendidikan saat ini serta solusi-solusi untuk permasalahan pendidikan tersebut. Padalah banyak sekali tema-tema yang bisa diangkat kemudian dijadikan tulisan berupa opini yang bisa dikirimkan ke media lokal maupun nasional. Guru professional tentunya dituntut untuk pintar, kritis dalam masalah pendidikan, dan cerdas serta dapat memberikan solusi dalam masalah kependidikan.
3)    Ketidakmampuan guru menjadi motivator dan insprirator bagi siswa. Masih terlihat ada jarak antara guru dan siswa. Guru terkadang terkesan cuek dengan keadaan pada siswanya. Sehingga siswa merasa kurang diperhatikan. Hal ini tentunya akan berdampak bagi minat para peserta didik dalam belajar. Hendaknya seorang guru yang professional harus mampu memahami kondisi psikologis masing-masing siswanya. Sehingga guru akan mampu memotivasi siswa untuk lebih giat lagi dalam belajar.
4)    Guru kurang berkomunikasi dengan para orang tua peserta didik. Bagaimana tidak, terkadang seorang guru hanya bertemu dan berbincang degan para orang tua ketika waktu pembagian rapot saja. itupun hanya beberapa saat saja pada waktu pembagian rapot, karena terkendala oleh waktu. Ini tentu saja tidak efektif. Hendaknya guru harus meluangkan waktu untuk lebih dekat dengan para orang tua siswa dan tidak member jarak kepada orang tua. Terkadang para orang tua segan untuk bertanya kepada guru tentang anaknya, karena terlalu menghormati guru tersebut, juga dikarenakan kebanyakan para orang tua siswa tidak berpendidikan. Jika hal ini dimulai dari seorang guru, maka yakinlah para orang tua akan lebih semangat dalam mendidik anaknya.
Untuk mengatasi problematika  diatas diperlukan kerjasama dengan semua pihak. Apabila kerjasama ini dapat terwujud, maka kualitas pendidikan akan meningkat. Para guru hendaknya mencontoh guru-guru yang telah berhasil terutama dalam menghasilkan karya, seperti Bapak Teguh Slamet Wahyudi, seorang guru yang berhasil mengungkapkan pengalaman pribadinya dan memberikan solusi atas permasalahan pendidikan yang marak terjadi dikalangan guru Indonesia. Karyanya berjudul “Panggil saja Aku Ayah.” Karya ini sangat menyentuh karena setiap murid dianggap sebagai anaknya sendiri, sehingga ia mengajar dengan penuh keikhlasan.
Terlepas dari semua itu, guru hendaknya menyadari bahwa jika mengikuti sertifikasi, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa guru yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana yang disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud.
Dengan menyadari hal ini, maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru.

Semoga para guru menjadi sosok yang bertindak sebagai motivator dan inspirator kemajuan pendidikan di Indonesia. Akhirnya, penulis mengucapkan selamat bagi para guru yang sudah tersertifikasi dan mari kita tunggu karya dan kiprahnya dalam mengangkat nasib pendidikan kita yang masih memprihatikan ini. Jika tidak, maka sertifikasi guru menjadi tidak efisien dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.

PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN (EPISTEMOLOGI)

Pengertian Paradigma
Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan bahasa Perancis paradigme, ia berasal dari bahasa Latin ”para” dan deigma”. Para berarti di sisi, di samping dan deigma berarti contoh, pola, model. Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Dengan begitu, secara epistimologis, paradigma berarti disisi model, disamping pola atau disisi contoh. Paradigma berarti pula sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga sinonim dengan guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu, gugusan pikir, model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya konteks. Secara terminologi, paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi dengan variabel-variabel idenya (Zumri, 2009:12)
Istilah paradigm pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Paradigma menurut Thomas S. Kuhn (dalam Surajiyo, 2007) adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Scott mengartikan paradigma Kuhn sebagai :
a.   an achievement, a new, accepted way of solving a problem which then is used as a model of future work;
b.   a set of  shared values, the methods, standard and generalizations shared by those trained to carry on the scientific work modeled on that paradigm.
Pengertian yang dintroduksi oleh Scott ini mengandung beberapa aspek penekanan yaitu bahwa paradigma merupakan, pertama, sebagai pencapaian yang baru, yang kemudian diterima sebagai cara untuk memecahkan masalah, dan pola pemecahan masalah masa depan. Hal menarik dari pengertian ini adalah bahwa paradigma adalah cara pemecahan masalah yang seharusnya memiliki daya prediksi masa depan. Kedua, sebagai kesatuan nilai, metode, ukuran dan pandangan umum yang oleh kalangan ilmuwan tertentu digunakan sebagai cara kerja ilmiah pada paradigma itu. (Sofian Effendi, 1988:188)
Mastermann (dalam George Ritzer, 1980:5) mengemukakan tiga tipe pengertian paradigma Kuhn, yang menurutnya mengandung pengertian. Pertama, Paradigma metafisik, kedua, paradigma sosiologi, ketiga, paradigma konstrak. Paradigma metafisik memerankan tiga fungsi, yaitu yang menunjuk pada suatu komunitas ilmuwan tertentu yang :
1.    memusatkan perhatian pada sesuatu yang ada dan yang tidak ada;
2.    memusatkan perhatian pada usaha penemuan tema sentral dari sesuatu yang ada;
3.    berharap menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh ada.
Paradigma ini merupakan konsensus terluas dalam suatu bidang ilmu tertentu. Paradigma sosiologi, oleh Mastermann dipandang memiliki konsep yang sama dengan Thomas Kuhn, yaitu bertolak dari kebiasaan nyata, keputusan gagasan yang diterima, hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan, serta hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum.
Sedangkan Paradigma Konstrak, yaitu konsep paradigma yang paling sempit dan nyata, dibanding ketiga konsep di atas. Misalnya, peranan paradigma dalam pembangunan reaktor nuklir. Pandangan-pandangan diatas tampak belum mampu menjelaskan konsep paradigma.
Robert Friedrichs (dalam George Ritzer, 1980:7) mencoba mengatasi masalah ini dengan mengajukan rumusan pengertian sebagai berikut:
Paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu     tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya    dipelajarinya (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Dengan maksud lebih memperjelas lagi, George Ritzer mencoba mensistesiskan pengertian yang dikemukakan oleh Kuhn, Mastermann dan Friedrich, dengan pengertian paradigma sebagai berikut:
Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (diciplin)
.           Bertolak dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian paradigma oleh mereka tampaknya diberatkan pada beberapa unsur, yaitu :
1.   Sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan;
2.   objek ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari oleh suatu displin; dan
3.   metode kerja ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu.
Pengembangan ini tampaknya akan membawa persoalan tersendiri bagi pengertian paradigma. Usaha-usaha pemberian pengertian dengan dasar kepentingan individual dari masing-masing disiplin dapat mengakibatkan timbulnya satu dampak yang bersifat ganda, yaitu pertama, menjadi jelasnya makna paradigma bagi kepentingan masing-masing disiplin yang menjelaskannya. Kedua, mengaburnya makna esensial paradigma, dari hakikat dasar pengertiannya sebagaimana pada mulanya diintroduksi oleh Kuhn.
Untuk memulihkan kekaburan yang mungkin timbul dari pengertian-pengertian itu, maka berikut diangkat suatu suatu sintesis dari beberapa pengguna istilah paradigma yang digunakan oleh Kuhn dalam introduksi gagasannya. Pertama, dalam The Structure of Scientific Revolution, pada prinsipnya Kuh membahas masalah perkembangan ilmu pengetahuan yang menurutnya bersifat revolusioner. Kedua, apa yang menjadi pusat penyelidikannya dalam usaha membuktikan tesisnya tentang perkembangan itu adalah paradigma. Ketiga, paradigma yang dimaksud oleh suatu kesatuan gagasan yang diterima secara komitmen oleh suatu kesatuan masyarakat ilmuwan, dalam suatu kurun waktu tertentu. Keempat, oleh akibat munculnya gejala-gejala baru, paradigma lama ini akan jatuh kedalam beberapa tahapan proses perkembangan, yaitu anomali, krisis, menjatuhkan (revolusi), dan akhirnya munculnya gagasan baru yang menggantikan kedudukan paradigma lama.

Shifting of Paradigm
Shifting Paradigms adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai kefilsafatan. Shifting Paradigms merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini pada akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu “kemajuan”. Shifting Paradigm Khun dan para filsuf lainnya telah membuktikan adanya kemajuan dalam ilmu pengetahuan (epistemologi).
Thomas Kuhn telah menggunakan sejarah sebagai dasar untuk menyusun gagasan paradigmanya. Sejarah telah membantunya untuk menemukan konstelasi fakta, teori, dan metode-metode yang tersimpan di dalam buku-buku teks sains. Dengan jalan begitu, Kuhn menemukan suatu proses perkembangan teori yang kemudian disebutnya sebagai proses perkembangan paradigma yang bersifat revolusioner. Inilah rangkaian shifting paradigma Khun:
P1 – Ns – A – C – R – P2
P1 = adalah suatu simbol dari suatu paradigma yang telah ada dalam suatu masyarakat sains. Paradigma ini sedemikian eksisnya dalam kehidupan suatu masyarakat sains, sehingga ia menjadi suatu paradigma yang membatasi kepercayaan dan usaha-usaha untuk mencari dan menemukan alternatif-alternatif baru yang dapat menggantinya. Salah satu sebabnya adalah karena kapasitas paradigma itu untuk mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat itu.
Ns = merupakan simbol dari pengertian ”Normal Science” atau sains yang normal. Sains yang normal adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan, di mana ilmuwan-ilmuwan berorientasi dan memegang teguh paradigma pendahulunya itu (P1). Sains yang normal adalah riset yang memegang teguh pencapaian-pencapaian ilmiah yang mendahuluinya, yaitu pencapaian yang oleh suatu masyarakat ilmiah dipandang sebagai dasar fundamental bagi pengembangan riset selanjutnya. Sains yang normal dapat menjelaskan arti paradigma. Dalam konteks ini, paradigma adalah model atau pola yang diterima oleh suatu masyarakat sains tertentu. Sains yang normal merupakan usaha untuk mewujudkan janji melalui perluasan pengetahuan dan fakta-fakta, dengan menaikkan tingkat kecocokan antara fakta-fakta yang diperoleh dengan prakiraan yang terkandung di dalam paradigma pengetahuannya (P1). Operasi sains yang normal merupakan kerja untuk menyelesaikan karya-karya yang tertinggal dan belum tuntas. Sehingga sains yang normal ditunjukkan untuk artikulasi gejala-gejala dan teori-teori yang telah disajikan oleh paradigma pendahulunya itu. Maka sains atau riset yang normal adalah riset yang didasarkan pada paradigma yang telah ada. Sains yang normal, sering menekan hal-hal baru yang fundamental, karena hal-hal baru yang fundamental itu akan meruntuhkan paradigma pendahulunya (P1). Paradigma sesungguhnya merupakan komitmen-komitmen mendasar yang dipegang teguh oleh suatu masyarakat sains.
Keadaan ini tidak akan dapat bertahan secara terus-menerus. Gejala-gejala baru yang tumbuh dan berkembang sebagai gejala alamiah, senantiasa akan menjadi sebab yang menantang untuk meruntuhkan paradigma itu. Gejala-gejala itu merupakan sebab dibutuhkannya penjelajahan-penjelajahan baru yang dapat menanggapi gejala-gejala itu. Jika telah sampai pada periode ini, maka suatu proses perkembangan sains segera berada pada periode anomali.
A= merupakan simbol dari pengertian anomali. Anomali adalah periode pertentangan antara kelompok ilmuwan yang memegang teguh pencapaian-pencapaian lama (P2) dengan ilmuwan-ilmuwan yang menanggapi kehadiran gejala-gejala baru itu, dan karenanya mereka menghendaki perubahan-perubahan dan perkembangan komitmen-komitmen baru, yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan-tantangan baru dari gejala itu. Sebab utama kehadiran periode ini adalah gagalnya paradigma lama (P1) untuk memecahkan masalah-masalah baru yang hadir bersama gejala-gejala baru. Jika pertentangan ini memuncak, maka proses perkembangan sains segera memasuki periode terbarunya, yaitu periode krisis.
C= merupakan simbol dari pengertian krisis, yaitu suatu periode perkembangan sains yang menunjuk pada kondisi pertentangan antara penganut paradigma lama (P1) dengan kelompok yang menghendaki perubahan terhadap paradigma lama. Pada periode ini biasanya muncul gagasan-gagasan baru yang mengguncangkan eksistensi paradigma lama yang pada gilirannya akan menjadi sebab semakin memuncaknya pertentangan itu. Meningkatnya pertentangan ini hanya mungkin jika dipenuhi suatu kondisi, yaitu adaptifnya gagasan-gagasan baru terhadap gejala-gejala yang berkembang. Krisis ini akan diakhiri oleh munculnya teori baru yang ditandai oleh suatu proses penggantian kedudukan yang radikal, yaitu revolusi sains.
R = merupakan simbol dari pengertian revolusi sains, yaitu periode munculnya teori baru yang secara radikal menggantikan teori lama. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang ditandai oleh pandangan subdivisi masyarakat sains yang cenderung bersifat sempit, yaitu tidak difungsinya lagi paradigma lama. Karenanya paradigma lama harus digantikan oleh paradigma baru. Bertolak dari dasar proses ini maka lahirlah paradigma baru (P2).
P2 = merupakan simbol dari pengertian Paradigma baru, yaitu paradigma hasil revolusi sains yang menggantikan kedudukan paradigma lama (P1). Berdasarkan karakter proses ini maka ciri untuk menentukan standar revolusi sains adalah ada atau tidaknya penerobosan terhadap suatu komitmen sains yang normal. Ciri lainnya adalah ada tidaknya anomali, krisis dan akhirnya pergantian kedudukan terhadap suatu teori lama. Menurut Kuhn, revolusi sains tidak selalu merupakan gejala eksplisit yang tegas. Sering ia merupakan suatu proses implisit dari perubahan unsur-unsur penting dari suatu formula. Karenanya hanya buku-buku sainslah yang menjelaskan revolusi itu, yaitu dengan melihat formulasi paradigma sebelum perubahan, dan buku-buku yang mengandung uraian tentang itu pada pasca revolusi. (Lili Rasjidi & I.B.Wyasa Putra, 1993:68-69)
Aliran Rasionalisme
1   Pengertian Aliran Rasionalisme
Secara Etimologi, Rasionalisme merupakan golongan dari dua kata yaitu: rasio yang artinya akal, dan isme yang berarti faham atau aliran. Dengan demikian, Rasionalisme merupakan sebuah faham yang menekankan pada potensi akal.
Adapun definisi Rasionalisme apabila ditinjau dari Terminologi filsafat ialah: Faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut aliran Rasionalis, suatu pengetahuan akan diperoleh dengan cara berfikir.
Dengan demikian, Rasionalisme merupakan aliran filsafat yang memposisikan akal sebagai sumber pengetahuan dan salah satu metode untuk mendapatkan pengetahuan. Disamping itu, akal atau rasio merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada setiap umat manusia. Akibatnya, rasio mampu mencari kebenaran dengan cara berfikir dan tidak mungkin salah.
Tokoh-tokoh Aliran Rasionalisme, Metode, Konsep Pemikiran dan Perkembangannya.
a.    Rene Descartes (1596-1650 M)
Rene Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Fleche. Rene Descartes dikenal dengan bapak Rasionalisme. Hal ini dikarenakan Rene Descartes orang pertama yang mempelopori tentang aliran Rasionalisme disamping juga karena pernyataan-pernyataan Rene Descartes yang selalu mengedepankan potensi akal untuk mendapat ilmu pengetahuan dan kebenaran. Ungkapan-ungkapan yang sering disampaikan Rene Descartes tersebut ialah: “cogito ergo sum” yang berarti saya berfikir, maka saya ada.
Meskipun demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja pengalaman  dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat…….Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:
a.      Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b.      Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c.       Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d.      Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar:
  1. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
  2. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
  3. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut.  Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
  4. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
b.    De Spinoza (1632-1677 M)
De Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 M dan meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah nama menjadi Benedictus De Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam. De Spinoza maupun Liebniz mengikuti pemikiran Rene Descartes. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan subtansi sebagai tema pokok dalam metafisika mereka, dan mereka berdua mengikuti aliran Rene Descartes. Tiga filosof ini, Rene Descartes, De Spinoza, Liebnis biasanya dikelompokkan pada satu aliran yaitu Rasionalisme.
De Spinoza menjawab pertanyaan dengan pendekatan yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rene Descartes, yaitu dengan pendekatan deduksi matematis yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian baru pembuktian (penyimpulan). De Spinoza memiliki pemikiran yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu tepusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa sedang keluasan adalah tubuh yang eksistensinya berbarengan. (Fuad Ihsan, 2010:153)
c. Liebniz (1646-1716 M)
Seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, membantu pejabat tinggi Negara pusat. Dialah Gottfried Eilhelm Von Liebniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. Metafisikanya adalah ide tentang subtansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Metafisika Liebniz sama-sama memusatkan perhatian pada subtansi. Bagi De Spinoza alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya, bergantung kepada sebab, sementara subtansi menurut Liebniz ialah prinsip akal yang mencukupi yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakannya. Kita lihat bahwa hanya ada satu subtansi, sedangkan Liebniz berpendapat bahwa subtansi itu banyak. Ia menyebut subtansi-subtansi itu monad. Setiap monad berbeda antara yang satu denga yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tida tercipta) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Liebniz tentang ini diberi judul monodology (studi tentang monad) yang diulis pada tahun 1417 H. ini adalah singkatan metafisika Liebniz. (Fuad Ihsan, 2010:154) 
Metode pengetahuan rasio Islam Klasik
Ada tiga metode dominan yang menunjang optimalisasi rasio sebagai cara perolehan dan pengembangan pengetahuan:
1.    Hapalan (memory/ al-hifz).
2.    Mudzakarah.
3.    Munadzarah.
Mudzakarah adalah metode belajar dengan cara memperlihatkan hasil hafalan di hadapan para peserta didik. Sedangkan Munadzarah adalah metode debat (disputation), yang berfungsi sebagai teknik pencarian kebenaran. (Musnur Hery, 2009:157)